Nilai Pesantren Sebagai Dasar Pendidikan Karakter
Beberapa nilai pesantren yang mulai terabaikan, layak dihidupkan kembali untuk khalayak luas. Misalnya, nilai gotong royong di tengah masyarakat yang kini cenderung materialistis, atau nilai toleransi di tengah masyarakat yang kini cenderung alergi dan anti terhadap kelompok yang berbeda. Nilai-nilai luhur tersebut pada gilirannya memberikan kontribusi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang baik yang dilimpahi maghfirah-Nya (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai kepesantrenan memiliki teori yang memadai tentang makna karakter yang baik itu dan cara menanamkan nilai itu. Pembentukan karakter yang berbasis nilai-nilai kepesantrenan dipahami secara luas agar mencakup aspek kognitif, afektif dan perilaku moralitas/psikomotorik. Dalam bahasa agama, karakter yang baik yang berbasis nilai-nilai itu terdiri dari mengetahui apa itu baik dan buruk (amar ma’ruf nahi munkar), menginginkan yang baik, (himmah) dan melakukan yang baik (amal shâlih).
Agar nilai-nilai ini dapat diterapkan, maka lembaga pendidikan seperti universitas/institut, madrasah, sekolah atau pesantren harus membantu anak didik memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau mempraktikkannya untuk diri mereka sendiri, dan kemudian bertindak dalam kehidupan mereka sendiri.
Dalam pendidikan di pesantren disebut ta’lim (pengajaran) dan ta’dib (pembiasaan dengan kesadaran). Orang bisa menjadi sangat cerdas tentang hal-hal yang baik dan buruk untuk kehidupannya, namun dapat tetap memilih yang salah. Contoh paling sederhana adalah tentang cara membuang sampah. Pendidikan moral tidak hanya mengutamakan aspek kognitif dan pengembangan intelektual, tapi juga membutuhkan dimensi emosional/spiritual yang berfungsi sebagai jembatan antara penilaian dan tindakan.
Sisi emosional/spiritual mencakup setidaknya kualitas-kualitas nurani (merasa kewajiban untuk melakukan untuk menjadi benar), harga diri, empati, mencintai, pengendalian diri dan kerendahan hati.
Pembentukan karakter mengacu pada tiga kualitas moral, yaitu: kompetensi (keterampilan seperti mendengarkan, berkomunikasi dan bekerja sama), kehendak atau keinginan yang memobilisasi penilaian kita dan energi, dan kebiasaan moral (sebuah disposisi batin yang dapat diandalkan untuk merespon situasi dalam cara yang secara moral baik). Oleh karena itu, pendidikan karakter jauh lebih kompleks daripada mengajar matematika atau membaca. Ia meniscayakan pengembangan kepribadian serta pengembangan keterampilan. Hal ini setidaknya merujuk pada adanya tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik.
Dengan demikian maka pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku tentang sifat-sifat baik. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa. Dalam pelaksanaan pembelajarannya, dapat diterapkan metode pendidikan berbasis pengalaman (experiential learning).
Metode ini dipilih agar seorang siswa/santri dapat menghidupkan sebuah nilai dan pada akhirnya memiliki karakter yang baik, maka mereka tidak hanya perlu diberi tahu tentang nilai itu, tetapi harus diajak mengalami dan berefleksi.
Experiential learning adalah suatu metode pembelajaran yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Karena itu, metode ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan kegiatan. Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan tersebut. Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Pada experiential learning, langkah menantang bagi guru adalah memikirkan atau merancang aktivitas pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri peserta, baik individu maupun kelompok. Kegiatan pembelajaran harus (fardhu ‘ayn) berfokus pada peserta belajar (student-centered learning). Dengan demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang harus mereka lakukan, apa yang harus kita katakan atau sampaikan harus sedetail mungkin kita rancang dengan baik. Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang dibutuhkan juga harus benar-benar telah tersedia dan siap untuk digunakan.
Metode experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja, namun juga memberikan pengalaman nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Di antara kegiatan pembelajaran dalam metode experiential learning yaitu mendengarkan musik yang terbukti secara empiris dapat meningkatkan kecerdasan karena iramanya menenangkan pikiran yang merupakan pusat pengendalian tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa musik dapat membuat anak-anak lebih tenang, dan karena itu, lebih cerdas.
Minat terhadap musik sebagai stimulan otak berasal dari pengamatan pada bayi- bayi prematur yang berkembang lebih baik ketika diperdengarkan kepadanya musik klasik. Penelitian di sekolah telah menunjukkan bahwa perhatian dan prestasi murid meningkat ketika mendengarkan musik klasik sebagai musik latarbelakang. Para ilmuan musik berteori bahwa musik mengorganisaikan pola-pola neuron di seluruh otak, terutama pola-pola yang berkaitan dengan pemikiran kreatif. Para dokter berteori bahwa musik mempunyai efek menenangkan dan merangsang keluarnya hormon endorfin.
Beberapa kegiatan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran antara lain:
- Membaca deskripsi sebuah nilai. Peserta didik diajak untuk membaca arti sebuah nilai
- Bermain peran. Peserta didik bermain peran secara individu, berpasangan, maupun
- Bernyanyi. Peserta didik diajak untuk menyanyikan lagu yang mengandung nilai-nilai yang hendak dihidupkan.
- Berbagi refleksi. Peserta didik merefleksikan situasi tertentu yang dihadapi, menuliskannya, dan membagikannya kepada peserta didik lain.
- Curah pendapat. Peserta didik saling memberikan pandangan terhadap kasus-kasus tertentu, dengan menuliskannya pada metaplan dan menyampaikannya dalam sesi
- Membaca teks kitab kuning. Peserta didik membaca teks kitab kuning dan diajak membuat terjemahan dan analisis kata dan tata bahasa.
- Membaca puisi dan artikel. Peserta didik membaca puisi dan artikel atau kisah tentang nilai.
- Berkarya kreatif. Peserta didik diajak untuk menulis syair, puisi, ataupun membuat gambar, pamflet dan karya kreatif lainnya terkait dengan nilai-nilai yang hendak
- Berbagi pengalaman. Peserta didik diajak untuk berbagi pengalaman nyata terkait dengan menghidupkan nilai dalam kehidupan pribadi mereka.
Oleh: M Hanafi Burhanuddin | Magister UIN Sunan Kalijaga | hanafiburhan9@gmail.com