
PONPESDIPONEGORO.COM, Yogyakarta – Di sekolah formal, belajar sering berhenti di level hafalan. Kita diajari rumus matematika, tabel kimia, atau definisi ekonomi dengan target: bisa menjawab soal ujian. Setelah ujian selesai, semua hafalan itu lenyap perlahan. Belajar berhenti di kepala, belum sampai ke hati.
Tapi di pesantren, proses belajar punya ruh yang berbeda. Di sini, belajar tidak sekadar hafal teks, tapi memahami makna. Para santri tidak hanya mengulang-ulang kata, tapi menelusuri makna kalimat dan konteks di baliknya. Bahkan tak jarang, mereka rela begadang demi memahami satu kalimat dalam kitab kuning. Inilah yang bisa disebut sebagai deep learning versi pesantren—belajar yang tidak dangkal, tapi menyelam dalam makna.
Menariknya, tanpa perlu laboratorium canggih atau teknologi AI, pesantren sudah sejak lama menerapkan metode yang sejatinya sangat mirip dengan konsep deep learning dalam dunia pendidikan modern. Hanya saja, istilahnya bukan “neural network” atau “machine learning model”, melainkan sorogan, bandongan, dan bahtsul masail.
- Bandongan: Kolektifitas dalam Pemahaman
Dalam ngaji bandongan, kiai membaca kitab, menjelaskan isinya, dan menerjemahkan ke bahasa lokal atau Indonesia. Para santri mendengarkan, menandai teks, dan mencatat makna. Ini bukan sekadar proses transfer ilmu satu arah. Justru, bandongan melatih listening skill, focus retention, serta sense of community learning. Santri belajar bagaimana memahami makna bukan hanya dari teks, tapi juga dari gaya bahasa dan penjelasan sang guru. Dalam dunia pendidikan modern, ini setara dengan collaborative learning—belajar bersama untuk memperdalam pemahaman.
- Sorogan: Mindful Learning di Hadapan Guru
Sorogan adalah sesi belajar di mana santri membaca kitab di hadapan kiai, lalu dikoreksi langsung. Satu santri, satu kitab, satu guru. Proses ini mengasah ketelitian, kesabaran, dan fokus. Setiap kesalahan dibenarkan, setiap pemahaman diuji. Sorogan mengajarkan mindfulness—hadir sepenuhnya dalam proses belajar. Dalam konteks deep learning, ini mirip dengan supervised learning—ada bimbingan langsung dari “model pelatih” (kiai), dan setiap error segera dikoreksi agar sistem belajar makin akurat.
- Bahtsul Masail: Ruang Kritis dan Analisis
Tahapan tertinggi dari proses belajar pesantren adalah bahtsul masail. Di sini, para santri berdiskusi untuk mencari hukum atau solusi dari persoalan keagamaan kontemporer. Tidak ada jawaban tunggal; yang ada adalah argumen, dalil, dan logika. Forum ini mengasah kemampuan berpikir kritis, berani berpendapat, serta menghargai perbedaan. Dalam bahasa pendidikan modern, ini merupakan bentuk critical thinking dan problem-based learning yang sangat dalam.
Pesantren, tanpa disadari, sudah lebih dulu mempraktikkan prinsip-prinsip deep learning sebelum istilah itu populer di dunia akademik modern. Bedanya, deep learning versi pesantren bukan hanya soal algoritma otak yang dalam, tapi juga tentang kedalaman hati. Ilmu tidak hanya dipahami, tapi dihayati. Belajar bukan sekadar tahu, tapi menjadi.
Karena di pesantren, setiap teks punya makna, setiap makna punya hikmah, dan setiap hikmah punya tujuan — mendekatkan diri kepada Allah. Itulah deep learning yang sesungguhnya.(rdp)