Guru Pesantren, Gini Cara agar Santri bisa lebih Hormat, lebih Semangat, dan lebih Termotivasi
Guru Pesantren, Gini Cara agar Santri bisa lebih Hormat, lebih Semangat, dan lebih Termotivasi
Mon, 3 March 2025 8:56
WhatsApp-Image-2025-02-05-at-9.22.35-PM-768x512

Pengalaman menjadi siswa, santri, dan mahasiswa serta sekarang sudah menjadi ayah dan guru di pesantren saya tersadar bahwa pengajaran/mengajar di jenjang PAUD, SMP-SMA (Pesantren), hingga S1 membuat saya sadar bahwa menjadi pengajar bisa disesuaikan dengan tempat dan tingkatan.

  1. PAUD; wajib centil. Ekspresif, ceria, banyak Gerak dan interaksi.
  2. Santri SMP-SMA; masih sedikit centil, pake humor, Bahasa tidak kaku.
  3. S1; lebih akademis, formal, humor…? Ada, tapi tidak selalu muncul.

Kalau pakai cara yang sama disemua jenjang, hasilnya? Gak efektif.

Sekarang ini pertanyaannya, apakah semua guru pesantren paham bahwa komunikasi juga bagian dari kompetensi mengajar?

Guru pesantren yang tidak paham komunikasi di konteks Lembaga Pendidikan, bisa membuat santri sulit menerima Pelajaran bahkan kehilangan motivasi.

Kita bisa ambil contoh, misalnya ada seseorang yang terbiasa menjadi bos di kantor.

Si Bos di tempat kerja:

“Saya mau laporan ini selesai jam 2!”. “Tugas ini prioritas, nggak ada alasan”.

Wajar, karena bawahannya digaji untuk bekerja.

Tiba-tiba orang tersebut menjadi pengelola di Lembaga Pendidikan pesantren. Kebiasaan “bos” masih terbawa.

“Pokoknya asrama harus bersih!”. “Kenapa nggak langsung ngerjain?! Udah dikasih tau berulang loh..!!”

Hasilnya? Ya pasti frustasi. Soalnya santri gak “langsung nurut” seperti karyawan. Santri bukan bawahan yang bisa “dipotong gaji”.

MENDIDIK ≠ MEMERINTAH

Meskipun contoh sebelumnya adalah fiktif, nyatanya guru pesantren masih ada yang kesulitan menggunakan pendekatan sesuai konteks Lembaga Pendidikan, termasuk di pesantren.

Santri membutuhkan proses, bimbingan, dan pendekatan yang sesuai. Sehingga, Ketika mengajar di pesantren, kuasai cara berkomunikasi dengan santri.

Komunikasi yang baik bukan hanya membuat santri lebih memahami pembelajaran, namun membuat mereka nyaman dan hormat kepada gurunya. Hormat, bukan takut.

Setiap jenjang santri butuh pendekatan yang berbeda.

  1. Santri baru? Butuh bimbingan ekstra dan pendekatan lembut.
  2. Santri remaja? Butuh humor dan arahan tegas.
  3. Santri senior? Butuh diskusi dan kepercayaan.

Guru yang bisa berkomunikasi akan membuat:

  1. Santri lebih mudah memahami Pelajaran
  2. Suasana pesantren lebih kondusif
  3. Santri lebih hormat dan termotivasi

Komunikasi yang baik dimulai dengan membangun koneksi. Rumusnya adalah KONEKSI SEBELUM KOREKSI.

Ketika guru pesantren lebih focus memberikan hukuman, “menasehati”, dan memberikan label kepada santri….

Memangnya tidak capek? Membuat lingkaran setan frustasi karena capek, santri capek, guru capek, dan tidak berjalan kemanapun.

Cara paling simple untuk membangun koneksi adalah dengan menyapa santri di pagi hari.

“Selamat pagi nak/le/nduk, gimana kabarnya?”

“Wah, hari ini wajahmu terlihat berseri ya. Ada hal menarik apa?”

Simple tapi powerful. Santri merasa di perhatikan dan diakui.

Sekarang mari kita coba evaluasi. Apakah kita sudah membangun koneksi sebelum koreksi?

Pesantren

Komentar

Tidak ada komentar

Tulis Komentar

Artikel Lainnya

Hukum Sikat Gigi saat Puasa di Siang Hari, Makruh atau Dianjurkan?
Membicarakan tentang siwak atau sikat gigi berarti juga bicara seputar kebersi...
Wed, 19 March 2025 | 11:54
Mengingat Kematian: Jalan Menuju Kehidupan yang Lebih Baik
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mas...
Sat, 15 March 2025 | 12:55
Keramas saat Berpuasa, Apakah Membatalkan Puasa?
Puasa Ramadan yang diwajibkan untuk umat Islam  selain memiliki arti menahan la...
Fri, 14 March 2025 | 4:51
Amalan-amalan Sunnah Penambah Kesempurnaan Ibadah Puasa Ramadan
Ramadhan merupakan bulan yang istimewa, banyak umat Islam meningkatkan ibadahny...
Fri, 14 March 2025 | 2:07