Musyawarah rutin santri Pondok Pesantren Pangeran Diponegoro kembali digelar pada hari Selasa, 28 Januari 2025, pukul 08.00 WIB. Kegiatan ini merupakan forum diskusi ilmiah yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman para santri terhadap kitab-kitab turats serta meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam mengutarakan argumen yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih.
Acara ini secara resmi dibuka oleh KH. M. Syakir Ali, M.Si. yang menyampaikan pentingnya musyawarah sebagai sarana untuk memperkaya wawasan santri dalam ilmu agama, beliau juga menyampaikan mengenai prinsip dasar Ahlussunah Wal Jam’ah yang mencakup atas tasamuh, tawasuth, tawazun, dan ta’adul. Turut hadir dalam acara ini Kyai Alwi Fuadi dan Bapak Fauzan sebagai dewan penasehat, serta KH. Zaidun Khadlirin yang memberikan sambutan mewakili pondok pesantren.

Musyawaroh yang diwarnai dengan perdebatan sengit antar santri kemarin setidaknya menghasilkan kesimpulan tentang dua hal yang penting untuk dipahami, yang pertama mengenai ihtilam (mimpi basah) yang termasuk salah satu dari tiga tanda baligh, yang kedua mengenai penggunaan batu sebagai alat untuk istinja’. Dua pembahasan tersebut dapat dianggap krusial karena yang pertama bersangkutan langsung dengan batas seorang muslim dianggap mukallaf. Dan yang kedua adalah salah satu dari sekian tata cara bersuci dari hadast yang berkaitan erat dengan syarat sah ibadah.

Diskusi mengenai pembahasan pertama menghasilkan kesimpulan penting yang sering disalah pahami oleh orang awam. Umumnya, Ihtilam lazim diartikan dengan mimpi basah. Namun, kejanggalan para santri mengarah pada apakah yang terpenting dalam kasus ihtilam adalah mimpi ataukah keluarnya mani?. Para santri sepakat bahwa titik berat dalam ihtilam adalah keluarnya mani, bukanlah mimpi. Argumen para santri diperkuat dengan dalil yang termaktub dalam kitab kasyifatussajaa yang merupakan syarh kitab safinatunnajah yang menyatakan bahwa ihtilam adalah keluar mani, meskipun mani tersebut belum keluar dari alat kelamin secara nyata. Seperti contoh seseorang yang merasakan akan keluarnya mani, namun menahan alat kelaminnya agar mani tersebut tidak keluar (Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani, 2011). Dalam artian, makna ihtilam bukanlah keluarnya mani secara nyata (bil fa’li), namun kemampuan seseorang untuk mengeluarkan mani secara biologis (bil quwwah).
Pembahasan kedua mengenai syarat penggunaan batu sebagai alat bersuci. Bersuci menggunakan batu dapat dikatakan sah jika telah memenuhi delapan syarat, yaitu : menggunakan tiga batu, objek yang disucikan telah bersih (kelamin atau anus), najisnya belum kering dan tidak meluber atau berpindah tempat, tidak bercampur dengan najis lain, najisnya tidak keluar dari area kepala penis bagi laki-laki, lubang vagina bagi seorang janda, dan anggota vagina yang terlihat ketika berjongkok bagi perempuan yang masih perawan, tidak keluar dari area anus, najis yang dikeluarkan tidak tercampur dengan air, dan batu yang digunakan haruslah suci.

Dalam diskusi sesi ini, para santri menanyakan tentang kolerasi antara syarat pertama dan kedua. Jika memang menggunakan tiga batu adalah sebuah keharusan, lantas bagaimana jika sudah menggunakan tiga batu namun objek yang dibersihkan belum bersih?. Dalam kitab kasyifatussajaa menjelaskan bahwa, dalam konteks bersuci dengan batu, batu yang digunakan tidak harus berjumalah tiga, atau dalam kata lain dengan tiga batu yang berbeda. Melainkan diperbolehkan membersihkan najis dengan satu batu. Karena secara umum batu yang sering kita jumpai biasanya memiliki sisi yang lebih dari dua. Kemudian dari setiap sisi batu tersebutlah yang kita gunakan untuk membersihkan najis secara bergantian dari sisi satu ke sisi-sisi yang lainnya. Karena hal yang penting dalam hal ini adalah mengusap atau membersihkan najis dengan tiga kali jumlah usapan. namun yang harus dilakukan adalah memilih antara menggunakan tiga batu yang berbeda atau tiga kali usapan dengan tiga sisi dalam satu batu yang sama meskipun objek yang dibersihkan telah bersih sebelum melakukannya sebanyak tiga kali. Namun, jika objek yang dibersihkan belum bersih dengan melakukannya sebanyak tiga kali, maka wajib menambahi usapan atau batu lain sampai objek yang dibersihkan telah bersih. Dan disunnahkan untuk mengganjilkan jumlah usapan atau batu yang digunakan jika dilakukan dengan lebih dari tiga kali. (Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani, 2011).

Para santri juga menanyakan perihal sesuatu yang bisa menggantikan batu sebagai alat bersuci, sepertihalnya tissue yang lazim digunakan dalam hotel, cafe maupun tempat lainnya. Salah satu santri menjawabnya dengan menyebutkan kutipan dalil dalam kitab Hasiyah Al-Bujairami Ala Al-Khatib yang mendeskripsikan pengganti batu dengan empat kriteria yang harus terpenuhi, yaitu : berupa benda padat (bukan benda cair maupun gas), yang suci, yang mampu meresap, dan bukan sesuatu yang digunakan untuk hal lain atau benda yang dimuliakan. Menurut para santri, tissue tentu boleh digunakan untuk bersuci karena telah memenuhi empat kriteria tersebut. (Syaikh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al-Mishry, 1995).
Kegiatan musyawarah ini berlangsung dengan lancar dan penuh semangat. Para santri menunjukkan semangat yang tinggi dalam menyampaikan pendapat dan argumentasi mereka. Dengan adanya musyawarah rutin ini, diharapkan para santri semakin termotivasi untuk mendalami ilmu agama serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum Islam.
*Oleh: Muhammad Tsabitul Ikhsan | Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Pembina Santri Ponpes Diponegoro